Selasa, 26 Maret 2013

Kisah Gua Umang


Kisah Gua Umang

Sebongkah batu besar berdiri kokoh di atas sebidang tanah. Ada yang istimewa dari batu ini, ada pintu dan ruangan di dalamnya. Masyarakat setempat meyakininya sebagai rumah Umang, orang Bunian di Tanah Karo. Dahulu kala, terdapatlah sebuah kampung kecil di salah satu daerah di Tanah Karo. Kampung Uruk Rambuten, begitu masyarakat setempat menyebutnya. Hanya beberapa keluarga saja yang tinggal di sana. Rumah-rumah mereka mengelilingi sebuah pohon beringin besar. Kampung tersebut memang perkampungan kecil yang hanya dihuni marga Ketaren.


Alkisah, hiduplah seorang peladang di kampung tersebut. Dia biasa dipanggil Opung (kakek) Ketaren. Sebagai seorang peladang, Opung mau membuka hutan yang masih berada tidak jauh dari kawasan perkampungan untuk dijadikan lahan bercocok tanam.
Dalam perjalanan menuju lokasi tersebut, Opung bertemu dengan sesosok mahkluk bertubuh kecil dengan kakinya terbalik. Tumitnya menghadap ke depan dan jari kakinya ke belakang. Orang-orang menyebutnya Umang.

“Mau kemana?” Umang bertanya pada Opung. Opung menjelaskan bahwa dia mau membuka hutan untuk berladang padi. Umang pun menawarkan bantuan kepada Opung, dengan syarat Opung tidak boleh membawa perempuan dan anak kecil ke ladangnya. Opung menyanggupinya, walaupun dia sendiri punya seorang istri yang baru saja melahirkan.

Akhir kata, Umang dan kawan-kawannya membantu Opung membuka hutan. Dalam satu hari, lahan seluas tiga hektar selesai dibersihkan dan siap untuk ditanam. Sebelum senja, Opung kembali ke rumahnya. Di rumah, dia mengatakan kepada istrinya, bahwa lahan untuk ladang sudah selesai dibuka, dan besok dia akan mulai menanam padi. Dia juga meminta istrinya untuk menyiapkan benih padi yang akan ditanam besok.
Sang istri pun heran, bagaimana bisa lahan seluas tiga hektar dapat diselesaikan suaminya dalam waktu hanya satu hari. Dengan hati bertanya-tanya, dia tetap menyiapkan benih padi yang akan ditanam.

Keesokan harinya, Opung sudah berada kembali di ladangnya dengan membawa benih padi yang akan ditanam. Namun tak disangka, Umang marah padanya karena dia telah mengingkari janji. Opung sama sekali tidak mengerti kenapa Umang bisa menuduhnya seperti itu. Padahal dia tidak pernah membawa perempuan atau anak kecil ke ladangnya. Tiba-tiba saja, istri dan anak Opung sudah berada di belakangnya. Ternyata, istri Opung diam-diam mengikutinya karena rasa penasaran yang tak tertahankan. Perjanjian Opung dengan Umang pun batal. Semuanya berubah menjadi hutan kembali seperti sedia kala. Mendapati itu, Opung marah besar. Namun apa daya, nasi sudah jadi bubur.

Besoknya, Opung kembali membuka hutan tersebut untuk dijadikan ladang padi. Selama berhari-hari akhirnya Opung pun berhasil membersihkannya. Ketika itulah ditemukan batu besar yang disebut Gua Kemang. Hingga saat ini, batu besar tersebut diyakini oleh masyarakat setempat sebagai rumah Umang yang pernah membantu Opung.

Cerita Mistik Gua Kemang
Batu Kemang Si bolangit Juni. 1906.
   Umang” merupakan bahasa Karo yang berarti jin atau roh. Seperti diceritakan oleh Tolen Ketaren, fisik dari Umang seperti manusia, tapi lebih kecil. Bedanya lagi, kalau berjalan, kakinya terbalik, tumitnya menghadap ke depan sedangkan jari-jari kakinya ke arah belakang. “Itu kata orang yang sudah pernah melihatnya. Seperti orang bunian,” jelas Tolen setelah menceritakan kisah asal muasal Gua Kemang yang dipercayai masyarakat setempat. Sekitar tahun 1970-an, menurut Tolen, masyarakat masih sering bertemu dengan Umang. Bahkan ada juga masyarakat yang dibawa ke hutan oleh Umang. “Tapi kalau balik, ada kurang-kurangnya,” ujar pria yang pernah menjadi Kepala Desa Sembahe pada 2001-2007 ini. Dulunya, Gua Kemang yang diyakini sebagai rumah Umang ini dikenal juga dengan nama Gua Umang. Karena mistis, banyak orang yang bertapa dan membawa sesajen ke sana. Bahkan dulu, setiap orang yang lewat di daerah Sembahe, selalu singgah dan menyembah batu ini. “Makanya dibilang Sembahe. Asal kata dari ‘semba e’, sembah ini. Sembahe dulu di kampung itu,” jelas Tolen.
Dulu gua batu ini juga bisa tiba-tiba menghilang, raib entah kemana. Menurut keyakinan masyarakat di sana, hal itu berarti ada Umang yang menempatinya. “Kadang nampak batunya, kadang tidak. Kata orang, kalau umangnya sudah pergi, baru nampak batunya,” ujar Tolen. Seperti dikisahkan Tolen lagi, menurut cerita dari orang-orang tua di sana, terdapat jalan bawah tanah dari Gua Kemang menuju sebuah batu besar lainnya. “Secara magis, ada jalan bawah tanah dari gua batu itu ke Batu Penjemuren, tempat jemuran padi si Umang,” cerita bapak berusia 46 tahun tersebut. Batu Penjemuren sendiri merupakan batu besar dengan bagian atasnya yang datar. Batu ini berada di pinggir Sungai Sembahe, sekitar satu kilometer dari Gua Kemang. Namun jalan bawah tanah tersebut tidak pernah ditemui oleh Tolen.
Gua batu yang ditemukan oleh masyarakat setempat pada zaman penjajahan Belanda ini, pernah hendak diangkat untuk dipindahkan ke Belanda. Tetapi tidak bisa dipindahkan. Tolen sendiri pun tidak tahu kenapa gua batu ini tidak bisa diangkat. Mungkin ada kaitannya juga dengan kekuatan magisnya. Sebagian masyarakat meyakini bahwa hingga saat ini kadang-kadang masih ada yang menghuni gua batu tersebut. “Konon, sekarang masih ada penghuninya,” kata Hendri, pemuda setempat yang menemani saya menuju lokasi Gua Kemang. Kampung Uruk Rambuten yang dianggap sebagai awal Desa Sembahe, sampai saat ini masih dikenali. Namun tak ada lagi penduduk yang menghuni kampung tersebut. Kampung Uruk Rambuten berada di dekat lokasi jatuhnya pesawat Garuda Indonesia pada 26 September 1997 lalu. Menurut Tolen, ada kemungkinan pesawat tersebut jatuh karena tersangkut pohon beringin besar yang tumbuh di tengah-tengah kampung Uruk Rambuten.
Situs Budaya yang Terbengkalai
   Gua Kemang berlokasi di Kampung Durintani, Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deliserdang. Tepatnya berada di lahan perkebunan seorang penduduk yang juga bermarga Ketaren. Untuk menuju lokasi gua batu ini, kita dapat berjalan kaki sejauh satu kilometer dari simpang Durintani, arah kanan dari Medan. Tidak susah menemukan simpang Durintani. Ada sebuah plang dari semen yang terdapat di simpang tersebut. “Situs Gua Kemang (Gua Batu), Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara, Proyek Pembinaan Kebudayaan APBD Tingkat I Sumatera Utara,” itulah yang tertulis di sana. Ternyata gua batu yang diyakini oleh para arkeolog sebagai peninggalan manusia pra sejarah ini sudah menjadi salah satu situs budaya milik pemerintah.
Jalan aspal mengawali perjalanan menuju gua batu. Namun separuh jalan setelahnya kita terpaksa melewati jalanan berbatu yang sedikit menanjak. Cukup menguras keringat juga. Apalagi mengingat kondisi tubuh saya yang sudah lama tak pernah berolahraga. Terasa cukup lama juga kami berjalan kaki, mungkin lebih setengah jam. Akhirnya pintu masuk menuju gua batu ini sudah berada di depan mata. Namun sebuah kondisi yang cukup mengiris hati akhirnya menyambut kami. Pagar dan tembok yang menjaga situs budaya ini sudah berlumut. Begitu pun tangga yang akan mengantar kami hingga ke atas, di mana gua batu berada. Ukiran yang tertulis di tembok pagar sudah hampir tak terbaca akibat lumut yang begitu tebal. “Pernah dibangun parkir dan jalannya oleh Kanwil Depdikbud tahun 75-an. Namun tidak berkembang,” ujar Tolen seakan-akan mengerti pertanyaan yang muncul di benak kami.

Kami pun melanjutkan sisa-sisa perjalanan, menempuh puluhan tangga hingga sampai ke lokasi Gua Kemang yang berada di bagian atas kebun. Kondisi gua ternyata tak jauh beda dengan apa yang kami jumpai sebelumnya. Lumut tebal menyelimuti dinding luarnya. Dua relief serupa manusia yang diyakini sebagai bentuk sosok Umang tersebut tak lagi terlihat jelas.“Dulu batu ini besar. Ada batu-batu lain juga di sekitar gua. Batu-batunya seperti meja, kursi, tapi dirusak Belanda. Ada yang dibuang, ada yang dimasuki ke kantong plastik. Tapi tidak tau yang mana yang diambil,” cerita Tolen menjelaskan lagi tentang Gua Kemang yang berada di bawah sebuah pohon rambe, sejenis pohon langsat.


Di bagian depan gua, ada lobang kecil berukuran sekitar 50 x 50 cm dengan pahatan berbentuk segitiga di bagian atasnya. Semacam pintu bagi rumah Umang. Di dalam gua hanya terdapat satu chamber berukuran sekitar 3 x 2 meter dengan tinggi sekitar satu meter. Bagian atas dalam gua mirip dengan atap rumah biasa, mengerucut ke atasnya.

Di sisi kanan dan kiri dalam gua, ada dua undakan, seperti tempat tidur. Sedangkan di sebelah kanan ada ruangan kecil memanjang. “Mungkin dapurnya Umang,” ujar Hendri. Atau mungkin tempat tidurnya bayi Umang?

Selain itu, terdapat juga ukiran-ukiran serupa tulisan Arab di dalam gua di bagian atas pintu. Menurut Tolen, mungkin saja itu tulisan Karo, karena jika dilihat dari bentuknya, tulisan Karo hampir mirip dengan bentuk tulisan Arab. Namun tidak jelas juga kepastiannya karena di beberapa bagian dinding dalam gua juga banyak coretan-coretan manusia yang iseng mengukir namanya di sana. Rusaklah sudah!
Namun yang paling perlu diperhatikan di sini adalah kondisi Gua Kemang. Cukup memprihatinkan, mengingat gua ini pernah dijadikan sebagai salah satu situs budaya di Sumatera Utara. Jika pemerintah sekarang tak mengindahkan ini, bisa saja Gua Kemang benar-benar akan hilang untuk selamanya.

Kamis, 13 Oktober 2011

KENAPA ORANG KARO TAK MAU DISEBUT BATAK

Kenapa (harus) Karo Bukan Batak?
Identitas Karo dalam kaitannya dengan Batak, kembali digugat. Gugatan ini dalam sebuah diskusi bersama Antroplog Karo, Juara Ginting di Rumah Buku, Padang Bulan, beberapa waktu lalu.
Dalam kesempatan itu, Juara mengajak para peserta diskusi yang notabene, Mahasiswa Karo USU, mempertanyakan kembali latarbelakang kata Batak yang lazim disematkan pada sukunya. "Kenapa mesti ada embel-embel Batak, jika tak ada kaitan antara Batak dengan Karo?" Tanya Juara. Sudah sejak lama prokontra itu muncul ke permukaan, terutama di masyarakat Karo. Menurut penulis, mulanya polemik ini muncul sebagai imbas dari persepsi keliru, dimana ketika menyebut Batak, masyarakat seolah-olah terbayang deskripsi akan sub etnis Batak tertentu (Toba). Mungkin tak menjadi soal, jika Batak Karo, Batak Toba, Batak Simalungun serta Batak lain duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.
Apa yang digugat Juara lebih dari itu. Secara ekstrem, dosen USU ini sama sekali menentang penggunaan kata Batak dari Karo. "Bilapun posisi masing-masing kelompok masyarakat Sumatera Utara ini normal, tetap saya tak setuju jika Karo dianggap Batak. Karo punya standar adat-istiadat yang mandiri. Kalaupun ada kemiripan jangan langsung diklaim, harus dilihat dari banyak sisi."
Penggunaan kata "Batak" terutama di masa kolonial Belanda, digunakan untuk mendiskreditkan sekelompok masyarakat yang dalam buku "Riwayat Poelaoe Soematra" karangan Dja Endar Moeda (1903); "Adapoen bangsa jang mendoedoeki residetie Tapanoeli itoe, ialah bangsa Batak namanya. Adapoen kata "Batak" itoe pengertiannja; orang pandai berkuda. Masih ada kata "Batak" jang terpakai, jaitoe "mamatak", jang ertinja menaiki koeda. Kemoedian hari orang perboeatlah kata itoe djadi kata pemaki kepada bangsa itoe"
Dari versi ini terlihat, penggunaan kata "Batak" yang kemudian dibubuhi nuansa negatif itu, berlaku bagi setiap kelompok masyarakat yang secara administratif bermukim di persekitaran Tapanuli (Silindung-Humbahas-Toba-Samosir) yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Kemudian jika, batas geografis itu menjadi faktor, pertanyaannya, mengapa pula "Perang Sunggal" disebut Belanda sebagai "Batak Oorlog" (Perang Batak)?

Beberapa Pengertian Budaya
Beberapa perkataan "Batak" nyaris ditemui di semua suku di Sumut. Di Pakpak Dairi berbunyi: "Mmas Batakn mahan gmgmmn laho mahan tabungn, biat ni kata mahan sungkunn mndahi kalak sipantas singg ddang radumn". Maksudnya adalah mmas batak dijadikan warisan (homitan) dibuat menjadi tepak sirih, sudah sepantasnya tempat untuk bertanya itu adalah orang yang mengetahui. Mmas Batakn diartikan sebagai serbuk emas dulangan menjadi emas murni atau logam mulia.
Di Karo dikenal upacara mbatak-mbataken; yakni mengembalikan roh penjaga (jinujung) kepada seseorang. Seorang Karo yang hendak mendirikan rumah, juga melakukan "Ibatakkenmin adah nda", yakni ritual meratakan tanah, agar rumah yang akan dibangun diberkahi.
Pada Simalungun, terdapat perkataan "Batak" antara lain "Patinggi ma batohon i, ase dear sabahtaon". Artinya, tinggikanlah benteng agar bagus sawah kita ini.
Di luar itu, di masyarakat Pilipina konon ada satu pulau yang bernama "Batac" (huruf c di belakang).
Konon pengertian kata "Batac" di sana juga mencerminkan makna sesuatu yang kokoh, kuat, tegar, berani, perkasa? Sejumlah kata yang sama ucap dan pengertiannya, juga ditemukan di pulau itu, seperti; "mangan" (makan), "inong" (inang), "ulu" (kepala), "sangsang" (daging babi cincang dimasak pakai darahnya).

"Akuisisi" Gereja dan PKI
Menurut Lembaga Penelitian dan Studi GBKP seperti dikutip penulis dari www. Permatabethesda, perkabaran Injil di Karo, dibagi atas dua kurun waktu. Pertama tahun 1890-1906 yang disebut waktu Permulaan. Kurun waktu kedua disebut masa Penanaman dan Penggarapan (1906-1940).
Bisa dikatakan, penginjilan di Karo, tak disengaja. Awalnya merupakan strategi Belanda untuk memuluskan aksi dagangnya di Karo. Waktu itu, keberadaan Belanda ditentang habis-habisan karena mengambil tanah rakyat untuk ditanami tembakau.
Untuk meredamnya, Belanda melakukan pendekatan agama, yakni pengabaran injil. Upaya itu berhasil. Lantas, Kepala Administrasi Deli Mij, Mr. J.T. Cremer, mengadakan perjanjian dengan Nederlandsche Zending Genoothchac (NZG), sebuah zending yang ada di Belanda untuk mengirim tenaga-tenaga tambahan Pengabar Injil ke Deli.
Melihat dinamika itu, sejak 1939 upaya untuk memandirikan Karo mulai dirintis. Pada 1940, dikirimlah dua guru injil pribumi, masing Palem Sitepu dan Thomas Sibero ke sekolah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Sipaholon. Keduanya menyelesaikan studi pada pertengahan sidang Sinode Pertama, yang menetapkan nama Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di Sibolangit tanggal 23 Juli 1941.
Sebelumnya, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang dirintis Nommensen (Jerman) sendiri, dianggap simbol keberhasilan kerja misionaris di Tanah Batak, sekaligus merupakan Kristen Lutheran yang pertama ada di Tanah Batak. Euforia kejayaan Jerman mengkristenkan Batak yang sarat herois ini, kemudian diberlakukan bagi kelompok-kelompok masyarakat Kristen lain, termasuk Karo. Bisa disebut, masyarakat Kristen Karo yang bentukan Belanda, itu "diakuisisi" Jerman menjadi Batak.
Setelah fase itu, perkembangan GBKP, menurut Juara, tak serta merta pesat. Banyak masyarakat Karo yang belum memilih Kristen sebagai afiliasi keyakinannya. Di antaranya, masih menganut ajaran-ajaran yang bercikal pada tradisi leluhur mereka. Kemudian meletuslah pemberontakan PKI tahun 1965. Dalam rangka pembumihangusan PKI, pemerintah menyusup ke daerah-daerah, terutama yang masyarakatnya belum menganut identitas agama resmi versi pemerintah.
Kesan yang dihembuskan pemerintah waktu itu, menyiratkan PKI identik dengan masyarakat yang belum mengenal agama dan mesti dibantai. Stereotif itu memaksa kelompok masyarakat tradisi Karo harus menganut salah satu agama. Karena kedekatan emosional, mereka kemudian memilih GBKP sebagai identitasnya. Sejak itu, jemaat GBKP membludak, sehingga berkembang mindset, setiap Karo yang Kristen adalah GBKP. GBKP sudah pasti Batak.
Bagaimana pun penggalan-penggalan kisah ini merupakan sekelumit sejarah yang mengiringi perjalanan Karo sebagai Batak. Menurut saya, Batak hanyalah sebuah induk, predikat umum yang menjelaskan Karo, Toba atau Simalungun yang mapan. Mestinya semangat identitas masing-masing tak perlu ditanggapi secara "buta", sembari juga perlahan-lahan menghapus hegemoni dan klaim-klaim yang cenderung membuat kita primordial.
(Pernah Terbit di Harian Analisa)

PERADATEN NGGELUH MASYARAKAT KARO


PERADATEN NGGELUH MASYARAKAT KARO

Sungguh kita harus berbangga hati menjadi suku karo, tidak ada alasan bagi kita untuk malu mengakui jati diri kita sebagai suku karo. Mengapa demikian? Suku karo adalah suku yang memiliki sistem kekerabatan yang teratur dan dan perencanaan yang jauh kedepan. Sistem penanggalan dan penentuan hari (kalender karo); Rakut si telu tutur siwaluh, perkade-kaden 12 +1; aksara karo; bangunan rumah adat; sistem peradatan hidup, pesta-pesta dalam peradatan karo dan masih banyak lagi yang mungkin tak dapat kita jabarkan di dalam tulisan ini satu persatu.
Dalam tulisan berikut ini kita akan coba membahas tentang sistem peradatan hidup dan pesta-pesta dalam peradatan karo secara kompleks. Upacara peralihan (rites of passage) adalah upacara keagamaan yang berhubungan dengan tahap-tahap penting dalam kehidupan manusia seperti kelahiran, kematian, dan perkawinan (Emmy Indriyawati 2009:66). Masyarakat Karo dalam hal ini juga memiliki barbagai jenis upacara ritual -ritual yang harus dijalani selama hidupnya. Beberapa dari upacara itu tetap dipertahankan hingga saat ini namun ada beberapa juga yang sudah jarang dilakukan bahkan tidak dilaksanakan lagi. Berikut akan jelaskan beberapa upacara ritus peralihan yang pernah dilaksanakan oleh orang Karo. Adat disini dibagi menjadi beberapa bahagian berdasarkan tingkatan usia antara lain: adat untuk anak-anak, adat untuk remaja, adat untuk orang dewasa, adat untuk orang tua dan beberapa adat tambahan yang mendukung dalam lingkaran kehidupan
I. Adat untuk anak-anak
1. Mesur-mesuri
Mesur mesuri sering juga disebut dengan maba manuk mbur. Upacara ini merupakan upacara yang dikhususkan bagi seorang wanita yang sedang hamil sekitar tujuh bulanan. Ada dua jenis upacara yang termasuk kedalam upacara mesur mesuri. Untuk anak pertama disebut dengan mesur mesuri, sedang unuk anak kedua dan yang seterusnya disebut dengan maba manuk mbur atau mecah tinaruh. Ada pun dilakukannya upacara ini adalah bertujuan untuk mempersiapkan psikologis seorang ibu yang akan melahirkan.
2. Adat Anak Tubuh
Saat seorang ibu dianggap akan melahirkan maka beberapa anggota keluarga akan berkumpul. Adapun keluarga yang datang adalah Kade – kade telu sendalanen.
• Peralatan yang perlu dipersiapkan untuk menantikan kelahiran seorang anak antara lain : Sembilu (kulit bambu yang diiris sehingga tajam), Kain panjang (cerawisen), Kundulen, Jerango, Belo penurungi, Bahan okup.
• Teknik pelaksanaan
Yang akan melahirkan dikelilingi kemudian dipersiapkan rawisen dan kundulen (tempat duduk) yang akan membantu proses melahirkan setelah seorang anak lahir maka tali pusar yang masih menempel dipotong dengan menggunakan sembilu sehingga bambu ini digunakan untuk memotong tali pusar yang masih menempel. Setelah tali pusarnya dipotong maka dikepala sang anak diberikan obat-obatan (sembur). Siibu yang sudah melahirkan dioukup (diberikan mandi uap). Masuknya dunia medis membuat sistem atau cara proses melahirkan ini ditinggalkan karena tak jarang proses ini menyebabkan timbulnya penyakit bagi si ibu maupun si anak diakibatkan kurang tingkat kebersihan peralatan yang digunakan untuk mendukung proses melahirkan.
3. Maba Anak Kulau
Maba anak kulau diartikan sebagai upacara membawa seorang anak ke tempat pemandian (pancuran atau kesungai). Upacara ini dilaksanakan pada saat sang anak usia sudah berusia 4 sampai 7 hari tergantung petunjuk dari guru (dukun). Saat ini upacara ini sudah sangat sulit untuk ditemukan.
4. Juma Tiga
Seminggu setelah maba anak kulau, maka diadakanlah upacara juma tiga. Adapun cara ini dilakukan untuk pejabat-jabatken (untuk mengetahui pekerjaan si anak dikemudian hari). Untuk itu, si anak dibawa kesuatu tempat juma (ladang) atau tiga (pasar). Sianak lalu diletakkan diatas kain dan kepadanya didekatkan buluh (bambu), ser-ser (sejenis tumbuhan yang batangnya berbulu), tanah, dan lain-lain. Dari yang dipegang anak itulah sang dukun akan menafsirkan bakat atau pekerjaan anak itu dikemudian hari.
5. Erbahan Gelar
Erbahan gelar dapat diartikan sebagai proses pemberian nama seorang anak. Pemberian nama ini apabila ditujukan kepada anak laki-laki dilakukan adalah kalimbubu sedang untuk anak perempuan yang memberi namanya adalah dari pihak anak beru. Namun upacara ini sudah sulit ditemukan diantara masyarakat Karo saat ini.
6. Mereken Amak Tayangen
Mareken amak tayangen adalah suatu upacara yang ditujukan kepada kalimbubu singalo ulu emas, berupa pemberian tikar putuh/tikar yang terbuat dari daun pandan sebagai alas tidur (amak tayangen). Upacara ini dilakukan oleh sebuah keluarga yang biasanya selama satu atau dua tahun telah dikaruniai keturunan. Upacara ini merupakan suatu bentuk ungkapan kasih antara seorang bebere kepada mamanya.
Selain memberikan amak tayangen ada beberapa benda lagi yang turut diserahkan pada acara adat tersebut yaitu kampuh (sarung), dan nakan (nasi) beserta lauknya. Kalimbubu singalo ulu emas juga memberikan perembah (kain gendongan) kepada beberenya untuk kain gendongan cucunya. Diakhir kegiatan acarapun ditutup dengan makan bersama.
7. Ngelegi Bayang – Bayang
Anak pertama pada masyarakat Karo mempunyai kedudukan yang istimewa, karena hanya kepadanyalah adat ini dilakukan. Untuk anak pertama Kalimbubu mempunyai kewajiban untuk memberikan : sepasang gelang tangan, sepasang gelang kaki, kalung dan gendit (sebuah ikat pinggang) dan perembah (kain gendongan). Selanjutnya untuk anak kedua atau seterusnya adat ini tidak dilakukan lagi. Proses inilah yang disebut dengan Adat ngelegi bayang-bayang dan sampai saat ini masih sering dilakukan oleh orang Karo.
8. Ergunting
Untuk memotong rambut seorang bayi, pertama sekali harus dilakukan oleh Kalimbubu (Mama) sesuai adat Karo. Sebelum digunting si anak terlebih dahulu di jujungi beras oleh Kalimbubu (Mami) dengan beras yang direndam dalam air Lau bulong – bulong si melias gelar. Selanjutnya rambut si anak digunting oleh Mama (paman) nya. Upacara ini memiliki tujuan agar anak ini selalu sehat dan terhindar dari hal yang buru.
II. Adat untuk remaja
1. Erkiker
Erkiker adalah tradisi yang ditujukan kepada anak gadis (biasanya saat seorang anak perempuan saat berumur 10 sampai 15 tahun) dalam rangka mempercantik diri. Tradisi ini adalah tradisi ngkiker (menggergaji) gigi atau dapat juga diartikan sebagai tradisi merapikan gigi seorang gadis dengan menggunakan alat kiker (gergaji) sehingga bentuk gigi menjadi rapi. Penentuan hari yang baik untuk melakukan kegiatan erkiker ini ditentukan oleh seorang guru (dukun) Pelaksanaan erkiker ini dilakukan pada pagi hari setelah makan pagi. Selesai makan pagi dibawalah sang anak perempuan ke kesungai untuk dipangiri (keramas) dengan menggunakan air jeruk, minyak kelapa, abu dapur dan sebagainya. Selesai erpangir maka dilakukanlah acara erkiker. Kegiatan Erkiker ini menyebabkan rasa sakit, semua gigi harus digergaji dengan menggunakan gergaji khusus yang dilakukan oleh ahlinya. Sang gadis dilentangkan dan giginya akan digergaji selama berjam-jam. Air mata bercucuran, darah mengalir, rasa ngilu bercampur sakit merupakan pengalaman sang gadis selama proses erkiker berlangsung. Selesai erkiker ini maka dilakukan lah pengobatan pada luka yang muncul dari proses erkiker ini. Kegiatan ini saat ini tidak dilakukan lagi oleh masyarakat karena bukan merupakan hal yang wajib saat ini.
2. Kacip-kacipi
Kacip-kacipi berasal dari kata kacip yang berarti jepit. Ini merupakan jenis sunat yang terdapat pada remaja Karo yag dilakukan secara tradisional dan bersifat rahasia. Prosesnya pun hanya dilakukan sendiri secara sederhana dan peralatan yang dipergunakanpun hanya dengan sembilu atau pisau yang bersih dan kemudian diobati secara tradisional proses pelaksanaannyapun hanya dibimbing oleh orang-orang dewasa berdasarkan pengalaman yang sudah pernah mereka jalani. Proses pelaksanaannya dilakukan dijambur dan ada kalanya juga dilakukan ditapin (tempat pemandian umum) dengan tujuan saat berendam maka seluruh tubuh akan basah dan kedinginan sehingga pada saat proses pelaksanaanya tidak mengeluarkan banyak darah. Dewasa ini kacip-kacipi tidak dilaksanakan lagi.
III. Adat untuk orang dewasa
1. Adat Perjabun (Perkawinan)
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia. Masyarakat Karo adalah masyarakat yang berdasarkan patrilineal, maka bila seorang wanita menikah, dia masuk ke dalam garis suaminya,. Perpindahan status seorang wanita, masuk ke dalam subklen suaminya, adalah ketika pesta perkawinan berlangsung, kepada keluarga pihak wanita diberikan tukor (mahar). Tukor atau mahar ini dikenal pula dengan istilah gantang tumba, perunjuk (Mas Kawin). Pada awalnya mas kawin ini berupa benda-benda pusaka yang dimiliki keluarga pria yang diberikan kepada keluarga wanita, namun sesuai perkembangan selanjutnya, karena benda-benda pusaka menjadi sulit ditemukan, dirubahlah wujudnya berupa uang. Hal ini maka istilah tukor diartikan dengan harga. Emas kawin hanyalah simbol dari perubahan status si wanita. Setelah diberikan emas kawin si wanita sudah dianggap kelompok lain di dalam klen orang tuanya, dan menjadi tanggung jawab klen suaminya. Jadi pemberian mas kawin adalah simbol dari penyerahan tanggung-jawab.
Kemudian, hukum perkawinan yang lain adalah laki-laki dalam masyarakat Karo, boleh mempunyai istri yang sah lebih dari satu, namun terhadap seorang wanita adalah sebaliknya, hanya boleh memiliki suami yang sah satu, kalau dia mau menikah kembali dia harus terlebih dahulu berstatus janda (bercerai dari suaminya yang sah), maka perkawinan dalam masyarakat Karo dapat dilihat berdasarkan beberapa hal:
a. Berdasarkan Jumlah Istri.
Berdasarkan jumlah istri, perkawinan dalam masyarakat Karo dibedakan atas dua yaitu perkawinan monogami (istri hanya satu) dan perkawinan poligami, istri lebih dari satu.
b. Berdasarkan Prosesnya
Berdasarkan prosesnya, perkawinan dapat dibagi atas tiga yaitu perkawinan atas suka sama suka, dijodohkan dan perkawinan paksa. Perkawinan suka atas sama suka adalah perkawinan berdasarkan kesepakatan kedua calon pengantin dan direstui oleh orang tua kedua belah pihak. Perkawinan dijodohkan adalah para calon penganten mungkin sama sekali tidak saling mengenal sebelumnya namun para orang tua talah menjodohkan mereka. Begitu mereka saling mengenal, mereka kemudian saling tertarik dan sepakat untuk membentuk rumah tangga.
c. Berdasarkan Statusnya.
Berdasarkan status yang kawin maka perkawinan dalam masyarakat Karo dibagi atas:
1. Lakoman Tiaken adalah pernikahan seorang janda dengan salah seorang pria yang berasal dari saudara suaminya yang telah meninggal.
2. Lakoman Ngalihken Senina (pernikahan menggantikan saudara sedarah) adalah pernikahan seorang pria dengan seorang wanita yang dilakukan karena saudara sedarah pria tersebut tidak mau menikahi sang wanita.
3. Lakoman Ku Nande . Pernikahan ini terjadi adalah apabila kasus lakoman tiaken dan lakoman ngalihken senina tidak terjadi, maka dicari sampai kepada anak yaitu anak kandung sembuyak suaminya, ataupun anak saudara lain ibu suaminya. Kalau pernikahan ini terjadi disebut perkawinan Lakoman Ku Nande.
4. Lakoman Mindo Lacina Ku Nini . Pernikahan ini terjadi apabila kasus lakoman tiaken, lakoman ngalihken senina dan lakoman ku nande tidak terjadi, maka dicari atau ditelusuri asal calon pengantin sampai kepada kalimbubu kakek. Kalau ketemu dan mereka saling menikah, maka perkawinan ini disebut perkawinan Lakoman Mindo Lacina Ku Nini.
5. Gancih Abu (Ganti Tikar). Gancih Abu artinya kedudukan seorang istri yang telah meninggal dunia, digantikan oleh kakak atau adik perempuannya. Tujuan perkawinan ini adalah untuk mendidik anak kakak atau adiknya tersebut agar tidak terlantar. Karena apabila sang ayah menikah dengan wanita lain dikhawayirkan seorang ibu tiri tidak akan mendidik dan merawat anak –anak seperti darah dagingnya sendiri.
6. Mindo Ciken (minta tongkat) atau disebut juga Mindo Lacina (minta cabai) adalah pernikahan seorang lelaki dengan janda kakeknya. Perkawinan seperti ini dapat dilakukan karena kedua belah pihak masih dibenarkan menurut adat. Perkawinan ini terjadi karena si kakek meninggal dunia.
7. Ndehara Pejabu Dilakina, istri menikahkan suaminya biasanya disebabkan silaki-laki tidak mampu memberikan keturunan.
8. Merkat Sukat Sinuan, disebut juga Merkat Sinuan adalah seorang pria yang menikahi putri puang kalimbubunya. Menurut adat, ini sebenarnya suatu penyimpangan, namun karena pertimbangan lain misalnya untuk mempererat hubungan persaudaraan, menyambung keturunan, perkawinan seperti dapat direstui.
9. Mindo Nakan. Seorang pria yang telah dewasa mengawini ibu tirinya, disebabkan ayahnya telah meninggal dunia.
10. Caburken Bulung. Perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang keduanya masih di bawah umur. Sifat perkawinan ini hanyalah simbolis saja. Adanya perkawinan seperti ini, disebabkan berbagai hal, misalnya salah seorang dari mereka sering sakit-sakitan, karena ada kepercayaan dalam masyarakat, seorang anak yang sering sakit-sakitan, bila telah sembuh harus dijodohkan kepada anak kalimbubu (kalau anak pria), diantar ke rumah anakberu, kalau anak wanita, dengan harapan si anak tidak akan sakit lagi. Perkawinan seperti ini tidak mutlak dilanjutkan setelah mereka dewasa. Istilah lain untuk perkawinan ini disebut mukul-mukul.
11. Singumban. Perkawinan antara pria dengan seorang wanita, yang keduanya berstatus saudara sepupu sifatnya rimpal9, dan dibenarkan adat untuk saling menikah. Si wanita adalah anak paman pria. Status wanita di sebut singumban.
12. Beru Puhun adalah perkawinan antara pria dengan seorang wanita, yang keduanya berstatus saudara sepupu yang sifatnya rimpal, mereka dibenarkan adat untuk saling menikah. Si wanita adalah anak paman si pria, yang berasal dari kalimbubu pihak bapak kandung atau kakek kandung (ayah kandung bapak) si pria. Status si wanita disebut beru puhun, karena sebagai pengganti nenek kandung (ibu kandung bapak atau kakek) si pria.
d. Berdasarkan Kesungguhan
Berdasarkan kesungguhan, perkawinan dikenal perkawinan sungguhan dan perkawinan gantung/simbolis. Perkawinan sungguhan ini dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang umum, yaitu disahkan oleh pihak daliken si telu10kedua belah pihak. Sedangkan perkawinan gantung atau simbolis adalah perkawinan anak-anak di bawah umur. Tujuan perkawinan ini adalah untuk menghindarkan bencana, atau malapetaka yang diketahui dari dukun, atau agar salah seorang dari anak-anak yang di bawah umur ini tidak sakit-sakitan. Perkawinan simbolis ini disebut juga mukul-mukul atau caburken bulung.
e. Berdasarkan Kedudukan Calon Penganten
Berdasarkan kedudukan calon penganten, maka perkawinan dibagi atas dua yaitu perkawinan biasa dan perkawinan melangkah (nuranjang). Perkawinan biasa adalah perkawinan yang tidak melangkahi kakak atau abangnya, sedangkan perkawinan melangkah adalah bila salah seorang atau kedua calon penganten melangkahi kakak atau abangnya.
f. Berdasarkan Jauh Dekatnya Hubungan Kekerabatan.
Berdasarkan jauh dekatnya hubungan kekerabatan, maka jenis perkawinan dalam masyarakat Karo dikenal dengan istilah:
1. Petuturken (perkenalan) atau disebut juga emas perdemuken yaitu apabila seorang pria atau wanita Karo menikah bukan dengan impalnya (orang yang telah mempunyai hubungan kekerabatan dengannya). Hubungan kekerabatan terjadi, justru karena terjadi perkawinan tersebut.
2. Erdemu Bayu. Perkawinan Erdemu Bayu adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita yang disebut rimpal yaitu perkawinan yang dianggap paling ideal dimasyarakat Karo dan dibenarkan oleh adat istiadat. Artinya si wanita (calon istri pihak pria) adalah anak dari pihak kalimbubu, dan si pria calon suami pihak wanita adalah berasal dari pihak Anakberu orang tuanya.
3. Berkat Sukat Senuan, yaitu apabila calon pengantin yang akan menikah, walaupun mempunyai hubungan kekerabatan, tetapi tidak dibenarkan adat untuk saling mengawini. Misalnya seorang pria menikahi seorang wanita - kalau menurut adat wanita sang calon tersebut cocok untuk anak paman sang pria. Atau istilah lain pihak anakberu menikahi anak puang kalimbubu.
4. Berdasarkan Tempat Tinggal Pengantin. Berdasarkan tempat tinggal pengantin, dikenal perkawinan njayo, adalah perkawinan yang tidak numpang di rumah salah seorang dari orang tua mereka, perkawinan kesilang ras orang tua adalah perkawinan yang numpang di rumah orang tua dari pihak laki-laki, dan perkawinan kekela perkawinan yang numpang di rumah orang tua pihak wanita.
g. Berdasarkan besar kecilnya pesta
Berdasarkan besar kecilnya pesta perkawinan dalam masyarakat Karo, dibagi menjadi tiga.
1. Pesta Besar (Kerja Sintua). Pesta besar dalam hal ini ialah dengan mengundang semua kerabat, teman-teman sekerja dan teman-teman akrab lainnya. Pesta diadakan di gedung pertemuan (jambur/losd) yang mampu menampung banyak undangan, dan diadakan gendang (musik).
2. Pesta Menengah (Kerja Sintengah). Pesta menengah ini ialah dengan mengundang semua kerabat, teman-teman sekerja dan teman-teman akrab lainnya. Pesta diadakan di gedung pertemuan (jambur/losd) yang mampu menampung banyak undangan, tetapi tidak diadakan gendang (musik).
3. Pesta Kecil (Kerja Singuda). Pesta kecil dalam hal ini tidak dengan mengundang semua kerabat, teman-teman sekerja dan teman-teman akrab lainnya. Yang diundang hanyalah kerabat penting terdekat saja dari kedua belah pihak. Pesta diadakan di rumah penganten wanita, tidak diadakan pagelaran gendang (musik).
IV. Adat terhadap Orang Tua Yang Telah Lanjut Usia
1. Mereken Tudung, Bulang Ras Ose
Mereken tudung, bulang ras ose ini dapat diartikan memberikan topi adat dan pakaian adat. Biasanya orang tua yang mendapat penghargaan seperti ini adalah orang tua yang berusia di atas 60 tahun sampai 65 tahun yang semua anak-anaknya sudah menikah dan bekerja dengan baik. Acara ini berasal dari keinginan si anak untuk menghormati orang tuanya dengan memberikan memberikan topi adat dan pakaian adat. Ini adalah simbol kasih sayang kepada orang tua.
Untuk melaksanakan ini dipanggil para anakberu, Senina sembuyak, untuk membicarakan teknis pelaksanaan dan hari pelaksanaan. Nilai topi adat dan pakaian adat yang akan diberikan bergantung kepada kemampuan si anak. Kalau si anak mampu, selain nilai topi adat dan pakaian adat yang mahal, juga pelaksanaan acara dapat mengundang banyak orang. Ketika tiba hari pelaksanaan, tudung disematkan para menantunya diatas kepala mertuanya yang wanita, sedangkan bulang, disematkan oleh anak lakilakinya di atas kepada ayahnya. Dalam kasus bila salah seorang dari orang tuanya telah meninggal dunia, pemberian ini tidak diberikan. Acara ini ditutup dengan makan bersama oleh para kerabat yang hadir.
2. Mereken Ciken ras Tuktuk
Adat mereken ciken ras tuktuk (memberikan tongkat) ini tidak jauh beda dengan adat mereken tudung, bulang ras ose. Ide pemberian ini juga berasal dari keinginan anak untuk menghormati orang tuanya. Dan orang tua yang mendapat penghargaan seperti ini adalah yang berusia di atas 67 tahun. Kepada si ayah diberikan ciken (tongkat) oleh anaknya yang laki-laki, sedangkan kepada ibunya diberikan tuktuk (alat menumbuk daun sirih) oleh istrinya. Dalam kasus bila salah seorang dari orang tuanya telah meninggal dunia, pemberian ini tidak diberikan. Acara ini juga ditutup dengan makan bersama oleh para kerabat yang hadir.
3 Mesur-mesuri.
 Penghargaan lain yang diberikan kepada seorang orang tua yang berusia diatas 80 tahun adalah mesur-mesuri. Mesur-mesuri adalah tradisi memberi nasi kepada seorang tua yang sudah berusia di atas 80 tahun. Biasanya pada usia ini, sudah banyak yang meninggal dunia, tetapi karena berusia panjang, ini dianggap sebagai prestasi tersendiri. Karena prestasi ini maka diberikanlah kepadanya penghormatan dan penghargaan yang disebut mesur-mesuri.
Mesur-mesuri biasanya diberikan pertama oleh pihak anak-anaknya, kemudian disusul oleh pihak anakberunya, dan terakhir oleh pihak kalimbubunya. Acara ini juga ditutup dengan makan bersama oleh para kerabat yang hadir. Selesai makan bersama kemudian dilanjutkan dengan berbincang-bincang mengenai isi hati masing-masing dari para kerabat yang hadir. Bila waktu mengijinkan kepada kerabat yang hadir diwajibkan berbicara sepatah atau dua patah kata saja mengenai isi hatinya. Terakhir sebelum para kerabat pulang ke rumah masing-masing, mereka memberikan uang ala kadarnya kepada si orang tua yang dihargai tersebut. Pemberian uang ini sebagai tanda kasih sayang dan dapat dipergunakan untuk membeli keperluan hidup yang diperlukan oleh si orang tua.
V. Adat Kalak Mate (Adat Untuk Orang Yang Meninggal Dunia)
Secara umum masyarakat Karo membagi jenis kematian sebagai berikut:
1. Berdasarkan status saat seseorang meninggal dunia
a. Cawir metua
Dalam masyarakat Karo, meninggal dunia di usia lanjut dan semua anaknya telah menikah, juga dihargai sebagai prestasi tersendiri yang disebut dengan cawir metua. Kriteria cawir metua ini adalah bila semua anak-anak kandungnya sudah menikah dan telah memenuhi seluruh kewajiban. Bila ada seseorang meninggal dalam kondisi cawir, maka semua kerabat dari pihak kalimbubunya (pihak mertua dari istri anak-anaknya yang laki-laki) harus menyediakan ose yaitu menyediakan perhiasan emas, kain serta pakaian yang indah-indah (kain adat), untuk dikenakan oleh saudara laki-laki serta anak laki-laki beserta istri serta janda almarhum (kalau yang meninggal dunia laki-laki). Perhiasan dan pakaian yang indah ini, sebagai suatu tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal (almarhum).
Perbedaan dengan jenis kematian yang lain, kematian cawir metua ini biasanya tidak ditangisi, para kaum kerabat tidak menunjukkan kesedihan, bahkan malah sebaliknya bersuka ria. Kematian seperti ini, dianggap mulia dan sangat dihargai. Acara pemakamannya disebut dengan istilah nurun disertai dengan gendang (tari dan nyanyi), dan para kaum kerabat larut menari bersama. Disinilah musik meberikan peranan selama berlangsungnya upacara adat. Untuk lebih jelas akan dibahas pada bab 3 b. Tabah-tabah galuh
Tabah – tabah galuh jenis kematian ini adalah jenis kematian yang terjadi saat seorang sudah berkeluarga namun usia belum lanjut.
c. Mate Nguda Mate nguda adalah kematian dalam usia muda dan belum berumah tangga ataupu usia orang tersebut masih muda.
2. berdasarkan sebab kematian
Selain tiga jenis kematian yang disebutkan diatas orang Karo juga membagi jenis kematian berdasarkan sebab-sebab kematian yaitu:
a. Batara guru (meninggal saat masih berada dalam kandungan)
b. Bicara guru (meninggal sesudah lahir)
c. Lenga ripen (seorang anak yang meninggal saat gigi belum tumbuh)
d. Enggo ripen (seorang anak yang meninggal saat gigi sudah tumbuh)
e. Meninggal perjaka/gadis
f. Meninggal pada saat melahirkan
g. Kayat-kayaten (Meninggal karena penyakit)
h. Mate sada wari (meninggal secara tiba-tiba)
3.  Musik Pengiring
Terdapat 3 jenis gendang dalam upacara kematian. Pemakaian salah satu jenis ini biasanya dilakukan berdasarkan jenis kematian. Adapaun jenis gendang tersebut adalah sebagai berikut:
a. Gendang mentas.

Gendang dilaksanakan hanya pada siang hari, yaitu pada hari saat dilangsungkannya upacara adat penguburan. Gendang ini biasanya mulai dimainkan bersamaan dengan dimulainya upacara adat sekitar jam 09.00 pagi dan selesai pada sore hari.
b. Nangkih gendang.
Gendang ini dimainkan mulai dari malam hari disebut dengan gendang erjaga-jaga agar yang menjaga jenasah tidak tertidur dimulai 1 hari sebelum dilangsungkannya upacara adat penguburan sampai dengan diakhirinya upacara adat tersebut.
c. Erkata gendang.
Gendang ini hanya dilaksanakan pada saat upacara adat penguburan sampai dengan diakhirinya upacara adat tersebut.
VI. Utang Adat
Utang adat merupakan suatu kewajiban yang wajib di laksanakan oleh sukut terhadap kalimbubu. Ada beberapa jenis utang adat. Perbedaan jenis utang adat ini diakibatkan jenis kematian yang berlangsung. Adapun jenis utang adat ini adalah
Meneh – meneh: utang adat untuk yang meninggal cawir metua
Morah - morah: utang adat bagi seorang yang sudah tua namun masih ada beberapa tanggung jawabnya yang belum diselesaikan. Masih adanya anak yang belum berumah tangga biasanya menjadi alasan seseorang itu belum cawir metua atau sehingga utang adat yang harus dibayarkan oleh keluarga hanya berupa morah-morah
Sapu Iloh: utang adat jenis ini ditujukan kepada seseorang yang belum berumah tangga dan yang masih berusia muda.
VII. Upacara Adat Tambahan
Upacara adat tambahan yang dimaksud disini adalah upacara yang dilaksanakan diakibatkan ada sesuatu hal yang terjadi seperti penyakit ataupun permasalahan yang lain.
1. Erpangir Kulau
Erpangir kulau adalah upacara mandi atau keramas disungai yang bertujuan untuk mengusir roh jahat atau menyucikan diri dari pengaruh roh jahat, memberi sesajian kepada yang kuasa supaya diberikan rejeki. Upacara ini masih dapat ditemukan dibeberapa tempat terutama disekitar pemandian air panas didesa Rajaberneh
2. Guro-guro aron
Guro-guro aron berasal dari kata guro-guro dan aron. Guro-guro berarti, main-main, pesta, hiburan. Aron artinya anak perana / singuda-nguda yang bekerja keladang. Gendang Guro-guro Aron dapat juga diartikan sebagai acara syukuran seusai panen. Seni tradisional ini digelar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas kecukupan rezeki atau hasil panen yang berlimpah atau pun juga perayaan atas kegembiraan yang dirasakan. Pada Gendang Guro-guro Aron tersebut masyarakat karo bernyanyi dan menari bersukaria, yang biasanya dilakukan sepanjang malam, dibawah cahaya bulan purnama
3. Nengget
Nengget merupakan upacara yang dilakukan dengan mengejutkan seorang wanita yang tidak memiliki keturunan. Tak jarang yang sudah memiliki keturunan juga mendapat kejutan ini biasanya karena belum memiliki keturunan laki-laki sebagai penerus garis keturunan (marga). Dari upacara nengget ini diharapkan sang wanita akan terkejut dan memiliki keturunan. Adapun proses nengget ini adalah melakukan beberapa hal yang seharusnya tabu bagi masyarakat karo seperti menggendong, memaki dan menyiram turangkunya yang dalam kehidupan sehari-hari seharusnya turangkunya tersebut pantang melakukan komunikasi terhadap turangkunya termasuk juga bertatapan dan bersentuhan anggota badan .
4. Perumah begu
Perumah begu adalah ritual yang bertujuan untuk memanggil kembali roh orang yang telah meninggal (begu). Perumah begu bagi orang yang baru saja meninggal dunia dilakukan pada malam pertama setelah mayat dikebumikan. Pada awal upacara, guru Si baso11akan melakukan tahap awal upacara yang bersifat menegaskan perbedaan dunia antara manusia dan roh orang meninggal. Selama prosesi ritual, guru si baso memainkan dua peran penting, yaitu pemimpin utama ritual dan juga berperan sebagai sebagai penceritera kembali kisah hidup dari orang yang baru meninggal.
11 Seorang wanita yang bertugas memimpin ritual tradisional. Guru sibaso ini memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan roh gaib atau jiwa orang yang telah meninggal.
5. Releng tendi
Releng tendi adalah ritual yang dilakukan oleh dukun dengan memanggil kembali roh orang yang masih hidup (tendi) yang ke luar dari tubuh disebabkan suatu peristiwa khusus dan menyebabkan si pasien sangat terkejut atau karena peristiwa yang tidak diduga-duga. Pasien akan bertingkah laku tidak seperti biasanya, dapat menjadi sangat pendiam dan tidak menghiraukan apa pun terjadi di sekitarnya atau orang tersebut tertawa sendiri, menangis secara tiba-tiba, atau marah tanpa sebab. Jiwanya dianggap ke luar dari tubuh dan tinggal pada tempat tertentu dikuasai atau dipenjarakan roh gaib tertentu.
6. Ngampeken Tulan-tulan
Ngampeken tulan-tulan adalah upacara untuk mengambil tulang tengkorak dan kerangka para leluhur untuk ditempatkan di geriten atau kuburan yang lebih baik. Ini adalah cara untuk menaikkan status para leluhur (yang diangkat tulang bangkainya). Acara ini dapat berlangsung seperti acara kematian, boleh pakai gendang. Pada acara ini juga diberikan utang adat kepada kalimbubu, puang kalimbubu dan anak beru.
Dari rangkaian tulisan tersebut sungguh neneng moyang kita telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk kita anak dan cucunya. Mereka telah memikirkan apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya kita lakukan guna keteraturan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Adalah tugas dan tanggungjawab kita sebagai generasi penerus suku karo untuk melanjutkan tradisi peninggalan nenek moyang kita dan melestarikannya agar anak cucu kita (generasi penerus) kelak masih bias melihat dan menjalankan tradisi ini yang telah kita laksanakan secara turun temurun.